Pendahuluan
Sekurangnya ada tiga alasan, mengapa kemudian esai ini saya
tulis. Pertama, bermula dari perbincangan “sengit” saya dengan
salah seorang teman, yang dengan gampang menyimpulkan bahwa jilbab merupakan
cerminan mutlak perempuan (muslimah) “sejati”. Kedua, diwaktu yang
berbeda, tatkala saya mendapati seorang teman perempuan yang lahirnya
berjilbab, belakangan diketahui bahwa dia sudah tak perawan lagi.
Ketiga, dan ini yang
paling meresahkan, dewasa ini di pelbagai daerah (beberapa diantaranya; Aceh,
Indramayu, dan lainnya), sedang menggema perda-perda syariat Islam, satu
diantara muatannya adalah jilbabisasi atau politisasi jilbab. Bertolak dari
tiga latar belakang itu, saya merasa terpanggil untuk kemudian
membincangkan hal ini, dengan dingin, objektif, dan tidak emosional. Terutama
dalam membincang ulang tentang jilbab yang erat dengan perempuan, termasuk
perkembangannya hingga sekarang.
Berpandangan bahwa berjilbab sebuah kebaikan bagi perempuan
muslim, adalah sah saja. Dari sisi itupun saya sepakat dan menyetujuinya.
Namun, ada yang luput dari pandangan sebagian muslim kita, tatkala ekspresi
(anggap saja) keberagamaan pribadi seorang perempuan, dalam mengenakan jilbab,
menjadi dipaksakan atau ada unsur pemaksaan di dalamnya. Kalau demikian, ini
hal lain dan sudah menjadi masalah.
Islam dan Pandangan tentang Jilbab
Ada bahasan menarik, tatkala membaca buku Nasaruddin Umar;
“Fikih Wanita untuk Semua” (2010), dalam sub bahasannya tentang jilbab.
Menurutnya, memahami jilbab dengan sejarah panjangnya, telah berkembang dengan
pelbagai kepentingan, sehingga ia tidak bisa hanya dilihat sebelah mata. Karena
itu, masih menurutnya, bahwa jilbab sebagai produk sejarah dan budaya yang
telah mengakar itu, sekurangnya dilihat dari tiga aspek. Pertama tentang
jilbab sebagai fenomena sosial. Kedua, tentang jilbab sebagai mode.
Dan ketiga, tentang jilbab sebagai simbol resistansi.
Islam sebagai agama yang diyakini “sempurna” oleh pemeluknya,
melalui QS. al-Ahzab [33]: 59, QS. al-Nur [24]: 31 secara langsung membahas
tentang ini. QS. al-Ahzab [33]: 59 misalnya; “Hai Nabi katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin;
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”.
Berdasarkan ayat tersebut, kalangan ulama progresif—dengan
ditinjau dari pelbagai aspeknya—berkesimpulan pada beberapa pertimbangan. Pertama,
ayat tersebut (pada zaman Nabi) sebenarnya membahas soal jilbab dalam arti
pakaian bukan dalam arti penutup kepala. Kedua, ditinjau dari asbab
al-Nuzul, bahwa ayat tersebut berkenaan dengan (tujuan) pembedaan antara
perempuan budak dan perempuan merdeka. Ketiga, berbicara soal
tradisi masyarakat Arab pada waktu itu, masih rentan terjadi tindak
diskriminatif dan eksploitatif terhadap perempuan.
Berbicara soal jilbab, sebagian kalangan teramat sering
mengidentikkan atau mengerat-kaitkannnya dengan konsep aurat perempuan. Dengan
kata lain, rambut adalah termasuk aurat yang harus ditutupi perempuan dengan
jilbab. Kalau tidak, maka berarti telah melanggar perintah Allah dan karenanya,
ia bukan tergolong muslimah sejati, sehingga kelak ia merupakan calon penghuni
neraka. Mendapati kesimpulan demikian, saya, jelas kurang sependapat dengan
pandangan simplifikatif demikian.
Ayat dalam al-Qur’an yang kerap dijadikan legitimasi terhadap
kewajiban jilbab atau menutup aurat adalah QS. al-Nur [24]: 31: “Katakanlah
(wahai Nabi) kepada perempuan mu’minat agar menundukkan pandangan, menjaga
kehormatan, dan tidak mempertontonkan atau memamerkan perhiasan (bagian tubuh)
mereka, kecuali apa yang (biasa) tampak saja. Dan hendaklah mereka mengulurkan
kerudung mereka ke bagian dada mereka…”.
Dalam mengomentari ayat ini, Ratna Batara Munti menyatakan bahwa
pada dasarnya ayat ini tidak berbicara mengenai batas aurat perempuan, tetapi
perintah agar menjaga pandangan dan kehormatannya, sebagaimana sebelumnya dalam
ayat 30 (masih dalam surat al-Nur) ditujukan pula kepada laki-laki. Berbicara
mengenai aurat, hingga dewasa ini, kalangan ulama sendiri masih
memperdebatkannya, terutama berkaitan dengan; sampai mana batasan aurat
laki-laki dan perempuan?. M. Quraish Shihab dalam bukunya; Jilbab,
Pakaian Wanita Muslimah (2009) membahas secara detail perbedaan dan
perdebatan pandangannya itu, diantara ulama klasik hingga cendekiawan
kontemporer. Meski demikian, M. Quraish Shihab, disamping Nasaruddin Umar, dan
Husein Muhammad, menyepakati bahwa batasan aurat adalah bukan hak terminologi
agama, melainkan wewenang sosio-kultural masyarakat tertentu, yang memungkinkan
berbeda satu sama lain.
Kesimpulan dari beberapa cendekiawan muslim Indonesia diatas,
semakin menemukan urgensi dan signifikansinya, dimana al-Qur’an sejak awal
tidak menyuratkan secara implisit perihal batasan-batasan aurat, entah
laki-laki maupun perempuan. Sehingga konsekuensinya, yang berhak menentukan
batasan-batasan aurat tersebut adalah kontek sosio-kultur suatu masyarakat,
termasuk dalam konteks Indonesia, yakni adanya penyesuaian antara teks
keagamaan dengan konteks lokal satu masyarakat tertentu.
Dari pengertian semacam diatas, saya punya pandangan bahwa
jilbab pada hakikatnya adalah mengenakan pakaian yang berkesuaian dengan
standar kepantasan dan kesopanan lokalitas masyarakat tertentu, yang sifatnya
kondisional dan fleksibel. Konteks kepantasan dan kesopanan dalam masyarakat
Papua misalnya, bisa saja berbeda dengan konteks kepantasan dan kesopanan dalam
masyarakat Jawa, dan seterusnya. Seorang perempuan atau laki-laki beradat
Papua, yang hanya mengenakan koteka dalam hal berpakaian, tidak bisa kita
anggap sebagai sebuah pelanggaran. Begitupun pakaian kebaya dalam adat
masyarakat Jawa, dengan rancang pakaian yang ketat dan tak berjilbab, tidak
bisa dianggap sebagai adat yang tidak Islami.
Jelaslah bahwa, persoalan aurat (dalam konteks sosial) antara
satu tempat dan tempat yang lain berpotensi untuk berbeda. Konteks sosial Arab
Saudi tidak melulu akan sama dengan konteks sosial Indonesia, terlebih sebagai
bangsa yang multikultural ini, dengan begitu mengenai batasan-batasan aurat
antara Arab Saudi dan Indonesia—sebagaimana konteks adat Papua dan
Jawa—memiliki potensi untuk berbeda.
Ini penting dinyatakan sekali lagi, fenomena jilbabisasi atau
politisasi jilbab sejatinya adalah bukan hakikat ajaran Islam. Karena
bagaimanapun, mendakwahkan ajaran Islam tak boleh adanya unsur paksaan atau
pemaksaan. Apa yang menurut pribadi kita baik, belum tentu demikian pada orang
lain. Hak dan kewajiban kita hanyalah mengajak orang lain kepada apa yang
dianggap kita baik dan kebaikan, dan bukan untuk memaksakan kehendak agar orang
lain ikut terhadap pandangan dan sikap kita.
Begitupun klaim tentang jilbab sebagai simbol keshalihan
sesorang, meskipun disatu sisi ada kebenarannya, namun tidak disisi lain, dalam
arti—jilbab sebagai simbol keshalihan—ini tak bersifat mutlak. Dan bukan
berarti perempuan yang tak memakai jilbab berarti tak berpotensi mencapai
derajat keshalihan. Bukankah para Nyai (istri para Kiai) pengasuh pesantren
dahulu (bahkan sekarang beberapa masih ada) memakai jilbab sebatas “nyantol” di
kepala dengan masih terlihat rambutnya? Beberapa Nyai yang demikian,
diantaranya misalkan Ibu Nyai Hj. Sinta Nuriyah Wahid, atau puterinya Ibu Yeni
Wahid, dan lain sebagainya.
Atas pernyataan ini, saya tegaskan, bahwa bukan berarti saya
menolak perempuan untuk mengenakan jilbab, saya tetap berpendirian bahwa
berjilbab adalah pilihan kebaikan bagi seorang perempuan. Namun, saya tak
sependapat jika persoalan mengenakan jilbab ditarik kearah politisasi, yang
dipaksakan. Saya punya keyakinan, bahwa mengenakan jilbab adalah panggilan
hati, bukan sekedar tren atau mode belaka. Keterpanggilan yang berasal dari
hati itu pula yang kemudian mesti berbanding lurus dengan cerminan perilaku dan
tata santun dalam kesehariannya.
Ada sejumlah keberatan yang sering mengemuka tentang konsep
aurat tatkala dihadapkan dengan sejumlah fenomena “buka-bukaan” sebagaian oknum
perempuan dan tentang makin maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan.
Menyikapi dan menjawab keberatan-keberatan semacam ini, Nasaruddin Umar
memiliki pandangan yang dingin dan bernas, berikut saya sarikan secara utuh:
“Mungkin yang memprihatinkan bagi kita sebagai bangsa yang
memiliki kararteristik budaya khusus ialah tren mode buka-bukaan yang juga
semakin marak. Selain jelas tidak senapas dengan budaya bangsa agama, mode
seperti itu juga berpotensi memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Meskipun
penulis juga kurang setuju kalau dikatakan, kejahatan seksual berbanding lurus
dengan semakin seronoknya pakaian perempuan. Perempuan sudah menjadi korban,
dituding lagi sebagai biang kejahatan. Kejahatan tidak berdiri sendiri. Disana
banyak faktor yang perlu dikaji, termasuk faktor relasi kuasa (power
relation) yang timpang antara laki-laki dan perempuan”.
Pernyataan diatas merupakan peneguhan bahwa dalam memandang
persoalan jilbab dan aurat tak boleh parsial, karenanya, patut dipertimbangkan
perihal beberapa perspektif Nasaruddin Umar—sebagaimana telah saya kemukakan
diatas—yaitu jilbab sebagai fenomena sosial dimana jilbab dewasa ini, bukan
lagi fenomena kelompok santri atau marginal tertentu, tetapi sudah menjadi
fenomena seluruh lapisan masyarakat. Jilbab sebagai fenomena sosial telah
merupa kepelbagai bentuk, mulai dari fenomena artis atau public figure beramai-ramai
mengenakan jilbab, para pegawai kantor, bank, dan pelbagai macam profesi
lainnya, kini telah marak yang mengenakan jilbab, hingga jilbab dijadikan
sebagai ladang meraup rupiah, menjadi tren dan mode kalangan berduit, yang
bernilai ekonomis tinggi.
Begitu halnya, jilbab sebagai mode, dimana mode busana selalu
mengikuti perkembangan objektif suatu masyarakat. Kondisi geografis, topografi,
klimatologi, agama, budaya, strata sosial, dan lain sebagainya, ikut menentukan
mode, corak, bahan, motif, dan ketentuan penggunaan mode. Ilustrasinya, lanjut
Nasaruddin Umar, bahwa seorang perempuan di Barat akan mengenakan pakaian
“tertutup” jika musim dingin tiba, dan berlainan ketika musim panas tiba.
Dan, semakin menarik saat membahas jilbab sebagai simbol
resistansi, dimana jilbab telah tampil bukan hanya sebagai sebuah mode, dan
bukan lagi sebagai sebuah privasi, tetapi tampil sebagai suatu kekuatan,
pergerakan, pertahanan, dan proteksi, terhadap gempuran peradaban global
yang menyisakan dampak negatif, di samping dampaknya yuang positif, maka
benarlah fenomena jilbab semakin menarik untuk dikaji, yang telah tumbuh
mengembang cakupan maknanya.
Penutup
Dari ulasan sederhana diatas, jilbab seyogianya bukan hanya
persoalan kemestian mengenakan jilbab sebagai penutup kepala, lebih luhur dari
itu, adalah keterpanggilan hati yang berdampak positif pada kualitas sosialnya
dalam kehidupan. Sebab tak jarang, meski lahir dan kepalanya mengenakan jilbab,
namun tidak dengan hatinya, yang justru mengumbar fitnah, amarah, dan perilaku
amoral lainnya. Tidaklah menganehkan untuk zaman yang secanggih ini, jika
(maaf) para pelacurpun berpotensi mengenakan jilbab untuk “mendagangkan”
kehormatannya.
Kalau sudah demikian
realitasnya, masihkah kita bertahan bahwa jilbab adalah sebuah simbol mutlak
keshalihahan seorang perempuan? menurut saya, mesti dikaji ulang. Sebab,
konteks keshalihan lebih kepada kualitas takwa. Dan, yang tahu kualitas takwa
bukan kita, tapi Allah Swt. Sekali lagi, jilbab sebagaimana dalam arti yang
lebih luas lebih merupakan pakaian penutup badan, tidak hanya sekedar penutup
kepala saja. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !